Kamis, 15 September 2011

Kamu, kamu, kamu

Cinta adalah caraku mencari AKU di kamu (!)

Semua berawal dari rasa sama - sama saling mengisi kekosongan, berjalan bersama, bercerita tentang pahitnya hidup, berkeluh kesah tentang kejadian kemarin hari ini dan apa yang akan dilakukan besok, bercanda dan tertawa serta saling hibur disaat sama - sama merasa di dunia ini kita juga butuh pendamping yang selalu mengerti, selalu mengingatkan, selalu mendukung.

Yah, proses itu berlanjut dengan sebuah pernyataan bahwa kamu membutuhkan saya dan ingin saya temani. Dan saya pun demikian, setelah menjadi teman, sahabat hingga kekasih. DAN hingga hari ini sejak 23 Mei 2011, rasa itu terus terpupuk, semakin besar. Setelah menjalani semuanya dengan kamu, saya menyadari bahwa kamu adalah orang yang LUAR BIASA. Itu bukan penilaian tetapi sebuah pengakuan. Orang yang tidak pernah saya kira sebelumnya jika kami saat ini menjadi orang yang sangat saya puja. Kamu biasa tetapi begitu luar biasa dengan segala pengertian, perhatian dan cinta yang kamu berikan untuk saya.

Bertengkar! Piuh...... Saya sudah tidak ingat berapa kali kita sudah bertengkar dalam beberapa bulan kita jalan. Bahkan kata pisah sudah pernah saya ucapkan, Tetapi dengan semua kesabaran kamu, kembali kita berbaikan. Malah semakin cinta setiap sehabis kita bertengkar. Ya, semua adalah PROSES. Sebuah proses untuk saling mengenal karakter satu sama lain, dan alhamdulillah semua bisa terselesaikan dalam waktu tidak sampai 24 jam. Intinya adalah seberapa besar kita saling mengerti, saling membutuhkan dan saling mendukung.

Bahagia..... Kalau dengan kata yang satu ini, hanya Tuhan dan dunia yang mengerti akan kebahagiaan yang kamu berikan untuk saya terlepas dari semua kekurangan tapi kamu melengkapi dengan segala kesempurnaa n yang ada. Berulang kali terucap kata syukur, tetapi berulangkali timbul pertanyaan dalam diri ini. "Akankah kita tetap begini diakhir cerita kita nanti? Akankah semua mimpi kita menjadi kenyataan untuk menjalani hidup bersama? Akankah saya menjadi perempuan kedua setelah ibumu didalam hidup kamu? Akankah, akankah, akankah??????

Saat ini cuma ada satu jawaban: *INSYAALLAH......

Kamis, 02 Juni 2011

Cerita Malam Ini

Biarlah mereka menjalani kehidupan dengan caranya sendiri. Kita yang dikaruniai mata sebaiknya hanya melihat tanpa perlu berkomentar dan lebih baik menjauh tanpa perlu mengawasi. Biarkan mereka berkembang dengan kehidupan, cerita dan cintanya. Setiap kehidupan ada tolak ukur tersendiri, begitu juga dengan apa yang mereka lakukan, biarkan di nilai dengan yang sepantasnya untuk menilai (bukan kita, bukan saya dan juga bukan anda), semoga mereka bahagia dan tak ada yang tersakiti, dan kita pun akan bahagia dengan jalan kita masing - masing.

Setiap orang punya daya tarik masing - masing, bukan patokan cantik kemasan bisa menarik secara keseluruhan perhatian seseorang, intinya terletak pada KENYAMANAN. Terkadang ada sesuatu di pada diri anda yang tidak dimilikinya dan tidak menutup kemungkinan juga sebaliknya. Pada dasarnya semua yang berpasangan akan saling melengkapi satu sama lain. Semua sudah ada takarannya! Kekayaan, kecantikkan, kepintaran semuanya bukan patokan kenyamanan seseorang untuk mendekat dan menjauhi kita.

Pendewasaan adalah sebuah proses yang beradaptasi dengan waktu dan keadaan. Semua orang pasti akan mengalami proses itu jika memang dia mau, karena dewasa adalah sebuah PILIHAN. Seperti halnya hidup, baik dan buruk bukanlah sebuah takdir tapi sebuah pilihan. Dan ketika berbicara tentang sebuah pilihan itu akan sulit karena pasti akan ada satu sisi yang dikorbankan untuk mendapatkan sisi yang lain.

Selasa, 03 Mei 2011

This is me!

When haters busy talking, i was busy make it happen.
When they were busy mocking, i was busy walking.
When they were busy laughing, i was busy running.
AND they are STILL wondering why they're left behind....

....And i've just begun....

Rabu, 16 Februari 2011

Kangen

03.40 Am. Pagi ini kembali saya memaknai arti kata "kangen". Sebuah kata sederhana dengan satu arti yang biasa, tetapi bisa membuat saya muter otak bagaimana cara mengatasinya. Faktanya adalah kangen ini tak bertuan......

Jumat, 11 Februari 2011

Valentine "Haram" ( Hermanto Harun )

Agaknya, ruang pemikiran kita tidak pernah berhenti dari gerogotan virus budaya “inpor” yang tanpa disadari telah mewabah dalam perilaku kesaharian kita. Virus tersebut menularkan pelbagai bentuk penyakit sosial yang semakin hari terus kumat, bahkan tularannya menjangkiti ruang pemahaman keberagamaan. Sehingga tak jarang, fatwa ulama terkecoh oleh realitas, yang seakan menganggap bahwa segala sesuatu memiliki niali positif dan negativ. Akhirnya, para ustaz, ulama dan Intelektual Islam, harus mencari argumentasi yang sedikit lunak, agar terkesan familiar dan bersahabat dengan zaman. Kasus ini paling tidak, bisa ditelisik dalam kasus Valentine’s day yang sampai saat ini menjadi icon dan trend baru generasi muda dalam menyalurkan kasih sayang. Valentine’s day menjadi moment yang seakan ‘rugi’ untuk dilewati, dengan warna pink dan makanan coklatnya yang khas, hari ini dianggap sebagai ruang waktu berkasih sayang, terutama kepada sang kekasih.

Seiring “paksaan” media mencekoki opini public dengan tayangan perayaan hari Valentine, budaya ‘impor’ ini seakan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan romantisme kaula muda. Unik dan anehnya, di tengah kesan ‘kontroversial’ MUI yang memfatwakan haramnya perayaan hari Valentine, tulisan Bahrul Ulum, seorang intelektual dan akademisi Islam, dengan Judul “Valentine Yes Valentine No” di harianJambi Ekspres (Kamis 14 Februari 2008), seolah ingin menjawab polemic keharaman perayaan Valentine tersebut. Walau, dalam tulisannya itu, tidak memiliki standar, juga rujukan argumentasi hukum yang jelas antara Valentiene yes atau no. Ketidak jelasan argumentasi hukum tersebut, menurut penulis, akhirnya menjadi jebakan argumentasi relativitas yang akhirnya tidak memiliki “kelamin” hukum yang valid dan tegas.

Ketidak-tegasan sekaligus kegamangan dalam menyikapi Valentine tersebut, setidaknya terlihat dari beberapa urain tulisan Bahrul Ulum (selanjutnya ditulis Bahrul) tersebut, diantaranya: Pertama, bahwa Bahrul terlihat sangat substantif. Ia berusaha memisahkan antara makna Valentine yang menurutnya “sesuai makna dasar” sejarah Valentine itu sendiri. Dalam ungkapan Valentine Yes-nya, Bahrul seakan berusaha memberi alibi, ternyata di dalam Valentine sendiri tersirat makna fositiv seperti memberikan kado, saling berbagi cerita dan pengalaman pribadi atau reuni teman/sahabat lama sesuai dengan makna dasar Valentine. Juga, Bahrul menambahkan “perayaan Valentine yang minimal dapat ditoleril bila dilakukan dengan bertukar kado sebagai tanda perhatian terhadap kawan spesial atau sahabat, dengan kado yang sederhana, dirayakan ditempat terbuka, tidak ditempat tertutup yang memungkinkan dapat berbuat maksiat, memilih tempat yang sederhana, tidak mengganggu orang lain, tidak berpoya-poya, tidak merayakan dengan waktu yang tidak terbatas dan tentu saja berpakaian yang sopan sesuai dengan adat istiadat dan budaya setempat”.

Dalam uraian di atas, terkesan bahwa semua perilaku tadi merupakan suatu perbuatan fositiv, sehingga menjadi legitimasi akan “yes”nya perayaan Valentine. Persoalan kemudian adalah, jika perilaku tadi tidak dalam ruang waktu Valentine, mungkin masih debatable. Akan tetapi, jika dalam ruang perayaan yang masih berembelkan Valentine, maka disitulah letak persoalannya. Karena bagaimanapun, penamaan Valentine sangat kental dengan misi dan nilai agama Kristiani, bahkan termasuk persoalan teologis Kristen. Hal ini dapat dilihat dari asal sejarah lahirnya perayaan Valentine. Kisahnya bermula dari raja Claudius II (268-270 M) yang mempunyai kebijakan melarang bala tentaranya untuk menikah. Karena, bagi Claudius II, dengan tidak menikah, para prajurit akan menjadi agresif dan siaga dalam berperang. Kebijakan ini mendapat perlawanan dari Santo Valentine dan Santo Marius dengan melakukan perkawinan secara diam-diam. Akhirnya, perilaku kedua Santo tersebut diketahui oleh raja Claudius II, kemudian memberi hukuman mati kepada Valentine dan Marius. Akhirnya, kematian kedua “pejuang cinta” tersebut diresmikan oleh Paus Galasius pada 14 Pebruari 469 M sebagai hari Valentine. Jika demikian, maka sangat jelas, bahwa perayaanValentine bagi umat Islam sangat bermasalah, mengingat persoalan teologis merupakan doktrin ajaran suatu agama yang sudah berada dalam ranah “hitam-putih” dan tidak mempunyai ruang untuk dinegosiasikan.

Kedua, dalam ulasan Bahrul, terdapat ungkapan “setidaknya tidak dianggap ketinggalan”. Ungkapan ini sekilas sangat sederhana. Namun, menurut penulis, menyimpan kandungan inferiority yang sangat dahsyat. Sikap inferoiritas ini bahkan telah mewabah ke paradigma pemahaman keberagamaan intelektual Islam. Sehingga, banyak ditemukan para cendekiawan Islam menganggap bahwa Islam menjadi kerikil dari sains dan kemajuan. Agama Islam hanya dijadikan wacana teoritik persoalan moral semata, tidak menjadi public system masyarakat. Jadinya, agama terkurung dalam ruang public reason. Ini artinya, persoalan integritas keberagamaan hanya menjadi patokan moral saja. Fenomena ini bahkan telah mewabah menjadi kelaziman dalam memahami keberagamaan di ruang public, sehingga terkesan bahwa persoalan integritas moral menjadi penting jika itu berkaitan dengan kepentingan individu, namun menjadi subordinate jika berkaitan dengan agama. Inilah buah dari sikap inferior umat yang akhirnya harus mencari interpretasi baru terhadap pemahaman agamanya, walau harus mendobrak ratifikasi dogma agama yang telah mapan. Dengan pelbagai alasan, agama terkadang dikungkung dalam penafsiran keselarasan zaman yang tidak jarang harus “memperkosa” interpretasi subjektifitas “birahi” dengan argumentasi “kebenaran hanyalah milik Tuhan”.

Ketiga, secara tersirat, adanya karancuan dalam menyikapi perayaan Valentine’s day. Apakah ini berada dalam wilayah agama atau hanya persoalan budaya semata. Saudara Bahrul terkesan ambivalen memposisikan “fatwa”nya. Dan kedua posisi itu menjadi samar untuk ditarik ke dalam wilayah agama atu budaya.

Pada satu sisi, mewacanakan Valentine dalam wilayah agama, sehingga nilai normatifitas yang diusungkan sangat berbau bahasa agama. Walau tidak memberi argumentasi yang jelas terhadap landasan “fatwa”nya itu. Ini tercermin dari ungkapan “dirayakan ditempat terbuka, tidak ditempat tertutup yang memungkinkan dapat berbuat maksiat”.pemakaian kata ‘maksiat” jelas sekali kental bahasa agama. Namun, sejauh mana pengelaborasian kata maksiat tersebut disandarkan? Penjelasan maksiat jelas sangat normativ, membutuhkan legitimasi bahasa agama dalam mendefenisikannya. Namun pada sisi lain, wacana Valentinediembelkan dengan budaya. Ungkapan Valentine ditarik ke dalam kancah budaya yang hanya “sekedar sarana penyampaian perhatian, kasih sayang”. Titik krusialnya adalah, jika harus dibungkus dalam bahasa budaya, bukankah budaya Valentine lahir dari produk agama?

Memang, ada ungkapan “alhikmah dhallat lilmukminin, aina wajadaha fahuwa ahaqqu biha”(kebaikan itu banyak telah hilang dari kaum muslimin, maka dimanapun kamu menemuinya, kamu lebih berhak untuk menerimanya). Akan tetapi, dalam kasus Valentine’s day ini, sangat sulit memilah antara nilai yang ada didalamnya dengan formalisasi ritualitasnya. Bahkan faktanya, justru Valentine’s day dan kemaksiatan (dalam kacamata agama), seperti seks bebas, miras, hura-hura dan pacaran menjadi dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian sangat tepat, jika MUI memmfatwakan perayaan Valentine’n day bagi seorang muslim hukumnya Haram. Bukankah ada kaidah hukum telah bertutur “al-ridha bi al-syai’I, ridha bima yatawalladu minhu” (menyukai sesuatu, berarti menerima efek yang dilahirkannya). Semoga Tidak!Waaalhu ‘alam

*Alumni Univ Al-Azhar-Kairo. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN STS & Ketua Ikatan Da’I Indonesia(IKADI) Kota Jambi.