Senin, 17 Januari 2011

Berhenti Menyalahkan Tuhan

Minggu, 16 Januari - pukul 07.46 am (Note ini sangat telat saya posting di blog ini, karena saya baru sempat online menggunakan PC).

Pagi ini seorang sahabat menghubungi saya via phone untuk kesekian kalinya dan masih dengan cerita yang sama yaitu tentang ketakutan menghadapi masa depan karena faktor umur dan tuntutan lingkungan sekitar. Saat itu saya hanya bisa menghela nafas sembari tersenyum dengan sanagt manisnya, walaupun saya tahu senyum saya pagi ini tidak akan pernah terlihat oleh sahabat saya. Tidak tahukah dia, saya juga mengalami takutan yang menghinggapi diri saya, cuma kali ini saya lebih ikhlas menjalani hidup saya. Saya melakukan apa yang saya ingin lakukan tanpa pernah berhenti berusaha dan berdoa. Itu akan membuat saya lebih lega menatap hari esok. Belajar untuk tidak terus mendongak ke atas, tapi lihatlah ke bawah, masih ada mereka yang nasibnya jauh lebih memprihatinkan.

Ketika sahabat saya bercerita tentang 4 hal umum yang menjadi misteri Illahi tentang kehidupan seorang manusia, yaitu langkah, rejeki, pertemuan dan maut. Ada 3 bagian penting disana yang menjadi trending topic yang selalu kita bicarakan setiap bertemu atau via phone. Yaitu tentang nasib yang masuk dalam kategori langkah, jodoh dan rezeki. Tetapi sahabat saya tidak pernah berbicara tentang ketakutannya terhadap maut, berbalik 180 derajat dari ketakutan yang saya rasakan. Karena sejujurnya yang paling saya takuti adalah MAUT. Saya takut maut datang ketika saya tidak siap dengan segala sesuatunya, tabungan amal belum cukup, target hidup belum tercapai dan saya belum bisa membahagiakan orang yang ada disekitar saya. Perbedaan yang sinkron antara saya dan sahabat saya adalah tipe keluhan, saya lebih suka mengeluh dengan note saya di blog ini karena saya terlalu lelah untuk berbicara persoalan yang sama dari hari ke hari, itu membuang waktu dan energi sedangkan saya tidak pernah menemukan jawaban dari persoalan saya itu dari orang yang mendengarkan cerita saya. Sedangkan sahabat saya cenderung lebih memilih menceritakan dengan teman terdekat. Satu hal yang paling saya syukuri adalah hampir semua teman saya selalu "curhat" dengan saya baik itu dalam masalah percintaan maupun karir. Tak tahukah mereka menjadi pendengar itu lebih sulit daripada menjadi pembicara. Kenapa? Karena saya harus bisa melihat masalah dari dua sisi yang berbeda, saya harus bisa memotivasi orang yang sedang bercerita tentang keluhannya (padahal saya pun mengalami hal serupa) dan mengatakan hal - hal yang dapat membuat dia lebih baik setelah bercerita dengan saya karena itulah gunanya pendengar, saya juga harus bisa menasehati mereka dengan bijak yang sekaligus juga menasehati diri saya sendiri. Dan yang paling sulit adalah saya harus tersenyum dengan masalah yang sama yang menimpa pada diri saya.

Beberapa hari yang lalu, salah seorang teman yang pernah "curhat" dengan saya pernah bertanya "Ndrie koq lu ceria terus sih dalam keadaan apapun, resepnya apaa? Bagi ke gue donk, siapa tahu gue bisa ikutan menjadi orang yang selalu bahagia setiap harinya". Lagi dan lagi saya hanya tersenyum dan bahkan tertawa saat teman saya berkata seperti itu. Jawaban saya cukup panjang tanpa menghela nafas dan jeda "karena ada Tuhan di hati saya. Dia tidak pernah membiarkan saya jatuh dalam kesendirian, walau terkadang keputusannya sering membuat saya bingung dan tidak terima dengan hidup malah cenderung saya memusuhi diri sendiri. Dan diantara segala keletihan saya akan keputusan Tuhan yang tidak pernah berpihak dengan apa yang saya inginkan, saya pun mencoba mengerti akan kehendak-Nya karena hidup saya sepenuhnya milik Dia yang esa. Dan saya mempunyai suatu keyakinan, bahwa suatu hari nanti yang saya sendiri juga tidak tahu kapan, saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan dan impikan, tentunya semua atas izin-Nya. Sekarang yang saya lakukan adalah menunggu waktu itu datang dalam leburan izin-Nya. Tidak ada penantian yang sia - sia dan ada harga untuk setiap doa, air mata dan usaha yang saya lakukan setiap harinya." Pernyataan itu membuat teman saya terdiam seribu bahasa. Tidak ada unsur kesombongan dalam kalimat itu dan mengalir begitu saja, saya hanya mencoba optimis dan konsekuen dengan apa yang saya ucapkan. Cukup sudah rasanya saya mendeskreditkan Tuhan dan menyalahkan-Nya atas semua yang terjadi dalam hidup saya. Karena sesunguhnya itu bukan salah Dia, tapi salah saya. Apa yang saya dapatkan di masa depan adalah benih yang saya tanam di masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar